5 Kesalahan Persepsi Seputar Desain Grafis
Ada sebuah kutipan menarik dari AIGA's Graphic Design mengenai apa itu desain grafis sebenarnya:
Quote:
"Jika Anda ingin mengumumkan atau menjual sesuatu, menghibur atau membujuk seseorang, menjelaskan suatu system yang rumit atau mendemonstrasikan sebuah proses, atau dengan kata lain, Anda mempunyai sebuah pesan yang ingin Anda komunikasikan. Bagaimana Anda mengirimkan pesan tersebut?
Anda bisa saja memberi tahu orang demi satu atau mem-broadcast-nya dengan radio atau loudspeaker. Namun itu adalah bentuk komunikasi verbal. Jika Anda menggunakan media visual (membuat poster, mengetik huruf, membuat ikon atau logo, atau iklan), maka Anda menggunakan komunikasi visual bernama desain grafis.
Desainer membuat, memilih, dan mengatur elemen-elemen desain tipografi, gambar, 'white space' di sekitar mereka untuk mengkomunikasikan sebuah pesan."
Jadi, pada dasarnya, desain adalah sebuah teknik menyampaikan pesan, informasi atau ide melalui media visual. Sayangnya, meski penjelasan-penjelasan mengenai desain grafis cukup mudah ditemui, kesalahan persepsi masih saja terus terjadi. Bahkan, beberapa di antaranya tergolong kesalahan persepsi yang cukup fatal. Misal, soal seseorang yang sudah bisa disebut desainer hanya karena dia menguasai software. Ini ane sebut fatal, karena pada faktanya, desain bukan hanya soal software. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu.
Sebenernya sih cukup banyak kesalahan persepsi seputar desain grafis ini. Tapi menurut ane, kayaknya lima inilah yang paling banyak dianut. Berikut ini daftarnya:
1. Bisa Software (Photoshop, Illustrator, CorelDraw, dll) = Desainer
Software bukanlah hal utama dalam desain grafis. Ia hanya alat bantu dalam membuat karya desain grafis. Bisa mengoperasikan software belum tentu bisa mendesain dengan baik.
Bima Shaw, Founder Roundbox Design sekaligus Ketua Asosiasi Desainer Grafis Cabang Jakarta pernah mengatakan: “Saya tidak bisa menggunakan InDesign, Illustrator, apalagi Flash dan 3D Max. Photoshop juga cuma bisa dikit. Tapi meski dengan skill saya soal software yang sangat terbatas, mengapa saya bisa sering mendapatkan proyek branding senilai miliaran rupiah? Karena saya menggunakan otak...”
Intinya, desain bukan soal kemampuan menggunakan software. Desain adalah soal ide kreatif yang mampu dihasilkan oleh otak.
2. Vector Art = Desain Grafis
Pada dasarnya, vector art lebih tepat disebut seni murni, karena tujuan utamanya yang lebih mementingkan estetika. Kesalahan persepsi ini muncul akibat seringnya vector art digunakan sebagai elemen pada desain grafis.
Desain adalah alat visual yang ditujukan untuk alat menyampaikan sesuatu hal dan memudahkan manusia dalam hidup (fungsional). Sayangnya, kebanyakan orang menganggap semua gambar vector itu desain, termasuk di antaranya vector art atau vexel wajah. Padahal, gambar-gambar tersebut hanya bisa disebut desain jika memang digunakan sebagai salah satu elemennya. Misal, jadi bagian dalam poster, brosur, kaos, dan sebagainya.
Perhatikan gambar di bawah:
Jika tidak ditambah embel-embel berupa tulisan, gambar di atas adalah sebuah vector art. Selain soal estetika (yang sangat subyektif), tujuan lainnya tidak jelas. Namun, karena vector art tersebut disertai tulisan yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pesan dan dicetak dalam sebuah media, maka hasil akhirnya berupa sebuah desain grafis (terlepas dari desainnya efektif atau tidak).
3. Membuat Desain Hanya Sebentar
Jika hanya proses eksekusi digital (di komputer), mungkin memang tergolong sebentar. Namun, proses keseluruhan pembuatan desain tergolong lama. Ada cukup banyak proses yang harus dilalui, seperti riset, analisa, mencari strategi visual dan komunikasi, serta brainstorming. Seluruh proses ini tidak mungkin bisa dilakukan hanya dalam dua atau tiga hari kerja.
Karena itu aneh jika ada desainer yang menawarkan jasa pembuatan karya desain hanya dalam waktu satu atau dua hari. Dengan jangka waktu secepat itu, konsepnya seperti apa yang bisa dibuat? Yakin konsepnya sudah benar-benar matang? Harus diingat, memaksakan sebuah desain dikerjakan dengan terburu-buru hanya akan membuat hasil desainnya kurang maksimal. Hasilnya mungkin memang bisa sesuai keinginan (klien), namun yakinlah, tidak akan sesuai dengan yang dibutuhkan.
4. Desain Grafis Itu Soal Selera & Estetika
Estetika memang memiliki peran penting dalam sebuah desain. Namun, ini tidak berarti jika tujuan akhir sebuah desain adalah estetika. Desain grafis tidak seperti seni murni (dekorasi) yang berfokus pada estetika. Ada yang jauh lebih penting dari itu: fungsi untuk menyampaikan pesan dan identitas. Selain itu, desain grafis juga bertujuan agar bisa menjual, memberi informasi, serta menanamkan citra.
Pada dasarnya, estetika hanyalah salah satu alat agar mencapai tujuan dari sebuah desain. Misal, sebuah desain akan dianggap lebih menjual jika memiliki estetika yang baik. Namun, tentu ini bukan suatu kepastian. Masalahnya, penilaian estetika selalu berdasarkan selera.
Selera itu sangat relatif. Tidak semua orang memiliki selera yang sama. Padahal, sebuah desain yang baik seharusnya menyampaikan pesan yang sama kepada semua orang. Jadi, penilaian sebuah desain seharusnya bukan berdasarkan pendapat “suka” atau “tidak suka”. Penilaian terhadap sebuah karya desain harus obyektif, yaitu berdasarkan efektivitas serta kemampuannya untuk menjual dan menanamkan citra.
5. Harga Desain Grafis Itu Murah
Kesalahan persepsi soal harga ini bisa dibilang akibat ulah segelintir desainernya sendiri. Akibat mudahnya memasuki dunia desain, banyak orang yang hanya dengan karya seadanya, mulai mengaku sebagai desainer. Lebih ironis lagi, mereka menawarkan jasanya dengan harga yang gila-gilaan. Jauh di bawah harga standar.
Hal ini diperparah dengan perlakuan mayoritas klien yang menilai suatu desain hanya berdasarkan outputnya. Padahal, dalam sebuah desain, ada banyak waktu, energi, dan pikiran yang harus terkuras.
Pada dasarnya, harga sebuah desain berkaitan dengan konsep penghargaan terhadap diri desainernya. Jika ada seorang desainer yang mau memberi harga yang tidak layak (kemurahan) untuk karyanya, maka secara tidak langsung, ia sudah menilai rendah dirinya sendiri (usaha dan kerja kerasnya). Sebaliknya, jika ada seorang desainer yang memberi harga terlalu mahal untuk desainnya, maka secara tidak langsung, ia juga menilai dirinya sendiri terlalu tinggi.
Inilah maksud dari "harga yang layak". Tidak menilai diri kita terlalu rendah atau terlalu tinggi....
Kesimpulannya, menurut ane, konyol jika ada orang yang mengaku-aku sebagai desainer, tapi dia bahkan sama sekali nggak paham tentang apa itu desainer sebenarnya. Pada dasarnya, dunia desain tidaklah semudah menguasai software. Dunia desain jauh lebih rumit dari itu. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa mempelajarinya. Jadi, teruslah pelajari dan pahami ilmu, teori, serta perkembangan di dunia desain.
Komentar
Posting Komentar